Tajukflores.com – Nama Kapten Budi Soehardi cukup terkenal di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mantan pilot Garuda dan Singapore Airlines itu sampai mendapat julukan malaikat karena dedikasinya mengurus ratusan anak di Panti Asuhan (PA) Roslin yang didirikannya bersama istri, Rosalinda Panagia Maria Lakusa. Inilah cerita peraih CNN Heroes 2009 tersebut.
Jumlah anak di PA Roslin, Kupang, dari hari ke hari makin banyak. Kini mencapai sekitar 150 orang. Mulai umur 6 tahun hingga 24 tahun.
Tapi, tidak seperti kebanyakan panti asuhan yang membuka kesempatan kepada orang untuk mengadopsi anak-anak di situ, PA Roslin sebaliknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami tidak menerima adopsi. Kami justru yang mengadopsi jika ada anak yang mau tinggal di panti,” kata Budi membuka obrolan saat ditemui di PA Roslin Senin (3/10).
Kapten Budi Soehardi dan istrinya, Peggy (panggilan Rosalinda Panagia Maria Lakusa), mulai membangun PA Roslin pada 2000 setelah setahun sebelumnya mengunjungi Pulau Timor untuk menyalurkan bantuan kepada para pengungsi Timor-Timur (Timtim) yang kondisinya cukup memprihatinkan.
Para pengungsi itu adalah orang-orang yang terusir dari kampung halaman setelah referendum Timtim yang memilih memisahkan diri dari NKRI.
Budi berkisah, semua itu bermula dari ketidaksengajaan dirinya dan keluarga menyaksikan tayangan kamp pengungsi Timtim di Atambua yang sangat menyedihkan.
Melihat itu, Budi dan keluarga yang sedang makan dan merencanakan liburan keliling dunia mendadak jadi tidak berselera makan lagi. Mereka ”tidak sampai hati” untuk memakan makanan lezat yang sudah disuguhkan, sedangkan di Atambua ada ratusan pengungsi yang kelaparan dan hidup memprihatinkan.
Budi menceritakan, kondisi para pengungsi parah sekali. Tenda pengungsiannya sangat tidak layak. Tempat tinggal sementara itu dibangun dari kardus, kain spanduk, dan barang-barang bekas yang ditali ke pohon. Belum lagi kebutuhan makanan mereka.
Saat Budi dan keluarganya bersiap menikmati hidangan makanan Korea favorit mereka, para pengungsi harus membagi satu mi instan dengan seluruh anggota keluarga.
”Mereka masak mi di bekas kaleng cat. Mereka lalu memasukkan semua sayuran yang ada di sekeliling mereka. Termasuk rumput krokot yang tumbuh liar di situ,” kata Budi yang masih terbayang kondisi di pengungsian Timtim tersebut hingga sekarang.
Budi, istri, dan ketiga anaknya lantas saling pandang. Mereka mencoba saling meyakinkan apakah rencana liburan mereka yang dipersiapkan sejak lama akan tetap dilaksanakan atau tidak. Namun, akhirnya Budi meminta izin untuk mengalihkan liburan mereka ke Timor, NTT, guna membantu para pengungsi di sana. Tak diduga, istri dan anak-anaknya langsung setuju.
Malam itu juga Budi menyebar e-mail yang berisi rencananya terbang ke Timor. Dia membuka kesempatan kepada rekan-rekan sejawat yang ingin membantu para pengungsi di sana. ”Waktu itu saya pasang target bawa barang 250 kilogram dan uang 10 ribu dolar dari keluarga saya,” terang Kapten Budi Soehardi.
Paginya, ponsel Budi terus berdering. Rekan-rekannya ternyata menyambut positif ajakan Budi. Mereka ikut berpartisipasi. Ada yang menyumbang barang. Ada juga uang tunai. Jika ditotal, uangnya mencapai 67 ribu dolar, sedangkan barangnya membengkak menjadi 1 ton.
Tapi, persoalan baru muncul. Budi kesulitan untuk mengangkut barang sebanyak itu dari Jakarta ke Kupang. Seorang teman lalu menyuruh dia mengontak seseorang.
“Saya tidak kenal dia. Ternyata, dia adalah station manager Singapore Airlines di Changi. Saya lalu memperkenalkan diri sebagai Kapten Budi Soehardi agar bisa mendapat diskon kargo,” kenang Budi, lantas tertawa.
Lagi-lagi, tanpa diduga, Budi mendapat kemudahan. Dia bisa membawa barang-barang bantuan itu via pesawat kargo Singapore Airlines. Bahkan, yang mengejutkan, ketika dia akan membayar biayanya, petugas mengatakan bahwa semua gratis.
“Ketika saya tanya berapa, petugas konter bilang done. Katanya done untuk charity. Saya tidak perlu membayar sepeser pun,” cerita Kapten Budi Soehardi yang merupakan mantan pilot Garuda Indonesia (1976–1989), Korean Air (1989–1998), dan Singapore Airlines (1998–2015) itu.
Sebelum berangkat, Budi dan istri menambah barang yang akan dibawa ke Kupang. Jumlahnya sangat banyak. Sampai rumahnya di kawasan Kalideres tidak mampu menampung.
“Mungkin jika ditotal, beratnya sampai 9 ton. Ini juga makin membuat saya pusing memikirkan cara membawanya ke NTT,” ujarnya.
Keajaiban kembali menghampiri Budi. Saat sedang kalut dengan masalahnya, Budi menemukan nomor telepon temannya yang sudah lama hilang kontak. Dia teman pilot semasih di Garuda.
Penulis : Grace Seran
Editor : Edeline Wulan
Halaman : 1 2 Selanjutnya