“NTT punya pariwisata luar biasa. Untuk sejahtera kita mulai dengan pariwisata karena pariwisata membuat mata rantai ekonomi masyarakat. Pariwisata berbicara tentang aksesibilitas, listrik, air minum, rumah layak huni, dan ini masih kurang di NTT,” ujar Josef.
Josef juga mengatakan adanya dana desa sebesar Rp 3,3 triliun di NTT turut membantu dalam hal aksesibilitas dan pembangunan infrastruktur. Menurutnya, dana ini juga memicu awareness masyarakat dan menjadi poin utama untuk pengembangan pariwisata.
“Bangun secara inklusif, mengentaskan kemiskinan tak perlu niru dari luar tapi dari kemampuan masyarakat itu sendiri. Kami mengirim anak-anak muda kami untuk belajar ke luar negeri dan saat kembali lagi jadi wirausaha-wirausaha muda, mereka bisa mengembangkan pariwisata. Untuk peningkatan kualitas SDM, kami menargetkan 100 taman baca di desa-desa dan target akan membuat 22 desa model,” ucap Josef.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seorang pemudi NTT, Meybi Agnesya Lomanledo, mengatakan telah melihat potensi kelor yang ada di NTT dan bisa jadi bisnis model bagi masyarakat. Menurutnya, kelor memiliki manfaat untuk mengurangi stunting karena kandungan nutrisinya. Ia juga telah mendirikan sekolah lapangan kelor sejak dua tahun lalu.
“Saya buat sekolah lapangan kelor sehingga masyarakat bisa memaksimalkan yang ada dari budidaya kelor sampai pasca panen. Bisnis modelnya kami buat kebun kecil saja tapi untuk mengedukasi petani, kami yang punya teknologi, kami yang beli hasil bumi dari petani, ini merupakan gerakan sosial dan edukasi,” jelas Meybi.
Pemudi NTT lainnya, Aleta Baun, berharap pembangungan NTT ke depannya bisa inklusif dan melibatkan partisipasi masyarakat. Menurutnya, semangat membangun berbasis dari kampung atau desa adalah semangat pemberdayaan.
Adapun dalam tataran teknis, Aleta mengatakan perlunya untuk membangun bisnis model yang fokus dan terintegasi. Kolaborasi dengan berbagai pihak salah satu cara kreatif untuk proses pembangunan di NTT.
“Pemberdayaan komunitas, pembangunan dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang ada di kampung, pemerintah, NGO dan akademisi, pembangunan yang saling menopang antar stakeholder. Mereka (masyarakat NTT) kaya dengan SDA, mereka tidak miskin. Bagaimana meningkatkan pendampingannya, walaupun programnya kecil tapi sesuai kebutuhan masyarakat,” pungkas Aleta.
Halaman : 1 2