Jakarta – Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyatakan bahwa penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen dirasa belum tepat jika diberlakukan saat ini.
“Hal ini belum tepat, terutama mengingat adanya pergantian pemerintahan. Banyak adaptasi yang perlu dilakukan dan ini tidak serta-merta bisa berjalan lancar,” kata Maulana dalam perbincangan bersama Pro3 RRI, Rabu (27/3).
Oleh karena itu, PHRI, kata Maulana, menyarankan agar pemerintah menunda penerapan PPN 12 persen dan memberikan kesempatan bagi pemerintahan baru untuk menyusun semuanya agar implementasinya berjalan dengan baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jangan sampai penerapan tersebut malah menghilangkan pasar. Lebih buruk lagi, bisa membuat industri semakin kesulitan,” ujarnya.
Maulana menegaskan, hal yang paling penting dalam kebijakan adalah memperhatikan daya beli masyarakat.
“Jika daya beli terganggu akan menyebabkan masalah dengan efek domino yang panjang,” kata dia.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen memang merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Oktober 2021.
Aturan ini menjadwalkan kenaikan PPN secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen pada April 2022 dan 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Namun, rencana kenaikan PPN ini menuai penolakan dari berbagai kalangan, baik ekonom maupun pengusaha. Kekhawatiran utama adalah dampak negatifnya terhadap daya beli masyarakat yang masih belum pulih dari pandemi COVID-19.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% merupakan amanat dari Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP).
Namun, dia menyatakan bahwa pelaksanaan kenaikan tersebut tergantung pada program dan kebijakan pemerintahan terpilih, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Senada dengan Airlangga, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menekankan bahwa kenaikan PPN 12% bukanlah harga mati. Dia menjelaskan bahwa ketentuan tersebut bisa diubah meskipun telah disepakati oleh pemerintah dan DPR.
Sri Mulyani mengatakan bahwa menghormati pemerintahan baru merupakan fatsun politik. Dia menyatakan bahwa pemerintah baru berhak mengubah kebijakan yang sudah disepakati sebelumnya, tentunya dengan mempertimbangkan arah dan kebijakan yang dijanjikan saat kampanye.
Penulis : DM
Editor : DM