Bagi Hikam, apa yang sudah dilakukan pemerintah memang sangat baik. Tapi kalau tidak berbasis fakta real di lapangan, maka hasilnya mungkin tak akan terlalu efektif.
Sebagai contoh, Otsus Papua dan dana triliunan rupiah yang mengikutinya juga masih jadi pertanyaan, sejauh mana efektifitasnya.
“Memang secara normatif sudah dilakukan pembangun Indonesia untuk Papua. Tapi persoalan paling krusial adalah pada penanggulangan masalah korupsi. Inilah yang membuat masyarakat dengan mudah kecewa. Entah benar atau tidak, bagaimana pejabat yang menikmati dan masyarakat masih miskin,” kata Hikam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Problem lainnya bagi Hikam adalah bagaimana memosisikan masyarakat Papua secara humanistik agar orang Papua merasa dihargai.
“Dalam bahasa Jawa bagaimana kita Ngewongke Wong. Orang Papua dilibatkan dan didengarkan. Sekarang ada orang bicara Papua cenderung bicara `kami versus mereka` Bukan solodarity making. Ini juga jadi persoalan,” katanya.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani mengawali paparannya dengan menyampaikan dua arahan Presiden Jokowi terkait Papua. Pertama pada 11 Maret 2020 Presiden mengusung semangat pembangunan Papua dengan paradigma baru dan cara kerja baru agar terbuka kesempatan kemajuan bagi rakyat Papua.
Kedua, belum lama ini Presiden Jokowi memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengejar dan menangkap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan tak ada ruang bagi kelompok kriminal di Republik Indonesia.
Lebih lanjut, Jaleswari menyebut salah satu ukuran dalam pembangunan di Papua bisa dilihat dari rasio ASN dengan penduduk Papua 1:38, lebih ideal dibanding daerah lain, seperti Jawa 1:111, Sumatera 1:59, Sulawesi 1:43, dan Kalimantan 1:50.
“Namun yang menjadi masalah mendasar adalah sebaran ASN di Papua yang terkosentrasi di kota-kota. Ini membuat layanan publik dan fasilitas belum dapat menjangkau masyarakat secara merata,” ujarnya.
Jaleswari menilai ada korelasi yang kuat antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan konflik yang terjadi di Papua. Daerah yang IPM-nya rendah relatif sering terjadi kekerasan.
“Daerah yang IPM-nya masih rendah seperti Nduga, Puncak, Intan Jaya dan Puncak Jaya cenderung tingkat kekerasannya tinggi. Mimika juga tinggi, tapi ini pemicunya berbeda. Di sana ada tambang freeport,” jelas Jaleswari.
Ia memaparkan, sejak era pemerintahan Jokowi, percepatan pembangunan Papua dilakukan dengan konsep botton up, yang memperhatikan masyarakat lokal Papua berbasis wilayah adat. Hal ini pun tergambarkan dalam Impres 9 / 2020 terkait percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
“Kita mengenal Jokowi bukan sekedar komitmennya terhadap pembangunan Papua. Bagaimana beliau 13 kali kunker Papua dan melihat progres pembangunan. Tapi Jokowi menginginkan cita-cita visi Indonesia Sentris harus dipenuhi,” jelas Jaleswari.
Ia menyebut tiga paradigma pendekatan yang dipakai, Pertama, adalah pendekatan antropologis, bagaimana rakyat papua harus dilibatkan dengan pendekatan budaya. Masyarakat Papua bukan objek tapi subjek.
Kedua, pendekatan kesejahteraan (ketimpangan terjadi perlu dibongkar dengan program langsung ke bawah. Seperti BBM satu harga, jalan ruas, termasuk pengambilalihan 51 persen Saham Freeport dan sebagainya.
Sedangkan yang ketiga, kata Jaleswari, adalah pendekatan evaluatif. Yakni pembangunan diawasi ketat agar dana tepat sasaran dan dirasakan masyarakat.
Halaman : 1 2