Konflik yang terjadi di Papua harus diurai akar persoalannya, kemudian diambil langkah-langkah penyelesaikan secara kolaboratif dan holistik.
Hal ini dikupas dan dipaparkan saat webinar yang diselenggarakan Indonesian Public Institute (IPI) dengan tema “Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik” pada Kamis (6/5).
Webinar itu menghadirkan pembicara seperti Tokoh Masyarakat Papua Komjen Pol Paulus Waterpauw; pengamat politik President University AS Hikam; Deputi V Bidang Politik Hukum Pertahanan Keamanan dan HAM pada Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani; Staf Khusus Presiden/pengusaha muda Papua Billy Mambrasar; dan Puspita Ayu Putri Dima sebagai host.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo dalam pengantar diskusi mengatakan, konflik Papua harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas karena di Papua tak berlaku solusi tunggal. Mengingat persoalanya sangat heterogen, multidimensi dan sangat rumit.
“Konflik Papua ini tergolong paling alot, sangat lama dibanding di wilayah lain. Maka perlu kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar persoalan konflik,” katanya.
Pembicara pertama, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, sebenarnya pembanguna di Papua sudah terlegislasi dan teregulasi dengan baik. Diantaranya dengan adanya UU 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Kemudian Perpu Nomor 1 tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, percepatan pembangun ekonomi dan peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.
“Bicara konflik Papua, perlu dilihat, apakah masalah ada pada regulasi, perda, ataukah secara taktis implementasinya. Sebab dengan dana otsus yang ratusan triliun pasti indeks manusianya meningkat,” kata Bobby.
Sebagai contoh, lanjut Bobby, ketika Presiden Jokowi menggenjot pembanguan infrastruktur jalan lintas, BBM satu harga, dan program lainnya, ternyata masih ada kendala di lapangan berupa pertentangan antara yang mendukung dan melawan kebijakan itu.
“Pembangunan jalan ruas Papua, masih banyak diganggu. BBM satu harga ternyata masih ada biaya tambahan. Maka secara taktis harus dilihat. Mana yang mendukung program pemerintah dan mana yang menolak dan menghambat kemajuan,” katanya.
Adapun Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar menilai, pembangunan Papua sebenarnya sudah berjalan baik, khususnya dengan basis sumber daya manusia. Dan sejak berlakunya Otsus Papua tahun 2001, upaya itu sudah dilakukan.
“Saya menerima beasiswa Otsus dan saya hanya satu cerita dari ribuan cerita lainnya. Kami ikut dalam human centered development process,” tutur pengusaha muda Papua ini.
Ia menilai konsep membangun bersama masyarakat Papua telah membuka peluang kemajuan yang sangat potensial. Jika dulu pemerintah pusat membangun ke Papua, maka sekarang waktunya mengkapitalisasi SDM anak Papua yang sudah siap ikut membangun daerahnya.
“Jadi dari human centered development process. Ada perubahan dari give menjadi konsep share value,” jelasnya.
Ia juga menyebut pembangunan di Papua harus berbasis potensi lokal. Mengembangkan potensi itu tentunya bersifat terstruktur melibatkan masyarakat asli Papua.
“Orang asli Papua adalah mitra pembangunan pemerintah,” katanya.
Sementara itu, AS Hikam menilai Papua mestinya dilihat dengan cara pandang yang berorientasi pada humanistik dan kebudayaan. Sebab masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan yang khas masyarakat sipil.
“Jadi bagaimana masyarakat sipil bisa terlibat secara sukarela dalam menyelesaikan masalah. Ini kedengarannya sederhana tapi tidak mudah. Apalagi jika mereka masih ada trauma,” jelas Hikam.
Halaman : 1 2 Selanjutnya