Direktur Lentera Insan Child Development and Education Center, Fitriani F Syahrul mengatakan kecanduan gadget pada anak dan remaja cenderung terjadi pada gamers online. Konten-konten yang menarik dan adanya kompetisi pada game memicu adrenalin membuat anak betah dan menikmatinya.
“Jadi karena ada target, ada sifat kompetisi, mereka main online dengan lawannya kan. Itu kan ada unsur adiktif, memacu adrenalin, menimbulkan kesenangan. Karena kalau dihentikan artinya dia kalah. Secara nature (alami) orang kan gak mau kalah. Maunya menguasai, mendominasi. Ini pas banget ya ditampilkan di game,” kata Fitriani saat dihubungi, Kamis (2/4).
Sifat adiktif pada game, menurut Fitriani menyebabkan anak atau seseorang bertindak brutal bahkan berujung pada aksi pembunuhan. Kasus tersebut terjadi di Tanjung Duren, Jakarta Barat dimana CC, seorang pemuda berusia 18 tahun tega menusuk ibu kandungnya yang menyebabkan korban mengalami luka serius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sekarang juga kita sering dengar ya, dimana kasus-kasus pembunuhan, ketika ditanya, ternyata latar belakangnya gamers,” jelas psikolog anak dan keluarga ini.
Selain game online, keseringan anak menggunkan gadget juga menyebabkan kecanduan pornografi. Fitriani menemukan tersebut pada pasien-pasien anak yang ditanganinya.
“Itu juga membuat orang adiktif. Karena ada tingkatan juga kan di pornogarfi. Misalya ada cewek seksi, besok-besok berpegangan, besok-besok ciuman, dan seterusnya. Sampai kepada vulgar sekali hingga akhirnya anak ini atau orang yang melihat terus gambar ini, dia pengen lebih lagi daripada itu,” kata dia.
Menurut Fitriani, faktor yang mendorong seorang anak, remaja hingga orang dewasa sekalipun kecanduan game karena kurangnya kontrol diri. Meski tidak semua gamers menjadi pecandu, namun kurangnya kontrol diri sangat riskan pada anak dan remaja menjadi adiktif.
“Jadi ada faktor kontrol diri masih berperan (pada orang dewasa). Tapi untuk anak-anak sampai remaja menurut saya sangat riskan. Kemungkinan besar adiktif,” ujarnya.
Menurut Fitriani, adiksi game menyebabkan keluhan fisik hingga perubahan struktur dan fungsi otak. “Saya punya klien itu jarinya benar-benar bengkok kayak struk gitu, sampai dia nangis. Ketika ditanya orang tua, bilang karena main game gak berhenti. Itu kan kondisi pada syaraf, bisa mengikuti pola yang terus-menerus kan,” jelasnya.
Psikolog Oriza Sativa mengatakan kecanduan gadget membuat seorang anak melupakan kegiatan hariannya (activity of daily living/ADL). Risiko paling parah bisa seperti yang dialami Raden Tri Sakti, seorang anak berusia 12 tahun di Subang Jawa Barat.
Remaja berusia 12 tahun itu meninggal karena kecanduan game. Berdasarkan diagnosa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Purwakarta, Raden meninggal karena mengalami gangguan saraf akibat keseringan bermain game online.
“Kemungkinan risiko kematian pada anak menjadi sangat lebih besar ketika dia kecanduan gadget. Sama kayak misalnya orang tua sakit jantung, risiko kematian kan tinggi. Itu jadi kalu menurut saya, gadget komorbid aja, faktor penyerta. Jadi dia mengabaikan faktor keselamatan dia, mengabaikan faktor ADL tadi,” kata Oriza.
Menurut Oriza, risiko adiksi gadget pada anak sangat rentan pada masa pandemi ini. Oriza berkaca pada temuan KPAI yang dirilis pada Agustus 2020 lalu dimana 60 persen anak menggunakan gadget akibat kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang mengharuskan siswa mengakses internet. Dari jumlah itu, 22 persen siswa menyaksikan konten pornografi.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya