“Nanti ada saatnya ketika kurva melandai, baru kita diajak berdamai, sembari mempersiapkan masyarakat untuk memulai sesuatu yang baru di masa depan,” pungkasnya.
Namun berbeda dengan Anggota DPR RI asal NTT, yakni Yohanis Fransiskus Lema. Dia menilai, ajakan Presiden Jokowi untuk berdamai dengan COVID-19 bukan berarti negara menyerah terhadap pandemi COVID-19. Sebaliknya, berdamai berarti melakukan berbagai tindakan penyesuaian dan menjalankan adaptasi baru dalam seluruh aspek kehidupan manusia terhadap COVID-19.
Apalagi World Health Organization (WHO), kata dia, memperkirakan, COVID-19 tidak akan hilang dan akan terus ada dalam kehidupan manusia. Untuk itu, dibutuhkan berbagai penyesuaian baru sambil menunggu ditemukan vaksin penyembuh Covid. Berbagai penyesuaian itu misalnya, menjaga jarak secara fisik, pakai masker, rajin cuci tangan, danmenerapkan pola hidup sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Perang melawan Covid-19 tidak lagi `dari dalam rumah`, tetapi `dari luar rumah`. Yang sakit diobati, yang sehat bisa beraktivitas seperti biasa. Keluar rumah, melanjutkan aktivitas kerja, sambil konsisten menjalankan protokol kesehatan.”
Ia menambahkan, pandemi COVID-19 tidak hanya menyerang kesehatan manusia, tetapi mengancam seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk ekonomi rumah tangga, masyarakat dan negara.
Pekerja informal sebanyak 70,49 juta (56%) paling terdampak akibat terbatasnya mobilitas usaha dan ekonomi mereka. Kelompok pekerja sektor ini kini banyak yang tidak bekerja, sehingga tidak memiliki penghasilan.
“Juga dari 56 juta para pekerja formal (44%), khusus di sektor industri dan manufaktur kini terancam. Banyak yang sudah di-PHK, karena tidak ada produksi dan mobilitas distribusi terancam. Menurut Kemenaker, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan di tengah pandemi Covid-19 sejauh ini bisa mencapai 2,9 juta orang. Angka ini kemungkinan akan bertambah jika aktivitas kerja manusia tidak digerakkan,” jelas Ansy mengutip Beritasatu.
Halaman : 1 2