Nah, agak cukup aneh apabila warga negara tidak bayar pajak. Kalau pajak tak langsung (pajak konsumsi), pasti tidak terhindarkan. Pajak langsung seperti PPN dan PBB berpotensi dihindari oleh wajib pajak. Meskipun pemerintah sudah mempermudah proses pelayanan (digitalisasi), tetap saja ada yang tak mau tahu. Kadang ada kecurigaan tak berdasar kepada pegawai pajak. Tetapi dalam berbagai informasi, kebijakan reformasi dan inovasi perpajakan (e-Filing dan e-Billing) telah dilakukan. Tak ada lagi yang bisa “nakal” di kantor Pajak. Seorang yang ingin jadi pemimpin mestinya tahu soal semua itu.
Idealnya, seorang calon pemimpin itu berasal dari warga negara yang baik. Dalam hal ini, ia taat bayar pajak. Para penghindar pajak atau pengemplang pajak tidak cocok jadi pemimpin. Alasan apa pun, jika ia wajib pajak, maka ia wajib pajak. Bukan hanya karena sikap bijak, tetapi seorang wajib pajak memang harus bayar pajak.
Takaran kebernegaraan kita juga diukur dari pajak yang kita berikan kepada negara. Rakyat bisa menuntut negara (:pemerintah) karena rakyat bayar pajak. Rakyat menuntut hak-hak pada negara karena kewajibannya ia penuhi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seorang calon pemimpin yang menuntut hak politiknya harus seimbang dengan kewajibannya untuk bayar pajak. Tanpa keseimbangan itu politik kewarganegaraan tidak berjalan baik. Anggaran pembiayaan politik demokrasi pun tidak maksimal apabila para wajib pajak menghindari pajak.
Seperti kata Bung Hatta, demokrasi berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab. Logikanya, mengutip Thomas Pikety, “modern democracies are based on a fundamental social contract: everybody has to pay taxes on a fair and transparent basis, so as to finance access to a number of public goods and services” (dalam Gabriel Zucman, 2015). Jadi, tanggung jawab hidup berdemokrasi itu ada manakala warga negara bayar pajak.
Seorang calon pemimpin yang memiliki insting politik pasti bisa memberi contoh dalam hal bayar pajak. Itulah tanggung jawab yang ia tunjukan dalam “sense of belonging”. Ia mencintai negara, maka sebagai calon pemimpin ia bayar pajak.
Setiap warga negara adalah calon pemimpin.
Siapa saja yang setia menjadi warga negara yang baik (bayar pajak) ia pantas dipilih untuk memimpin warga negara yang lain. Yang menghidari pajak dan pengemplang pajak, tidak layak jadi pemimpin. Calon pemimpin bijak pasti bayar pajak. Pesannya, jika seorang pemimpin tertarik pada problem ketidakadilan dan masa depan demokrasi, maka mulailah dari pajak.
Halaman : 1 2