DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-11, pada Selasa (6/12).
Pengesahan dilakukan di tengah masifnya penolakan dari elemen masyarakat sipil, terhadap RKUHP yang dinilai masih memuat pasal-pasal bermasalah.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur membeberkan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP per 30 November 2022.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Isnur, RKUHP kembali memuat pasal kolonial. Padahal, semangatnya berdalih untuk terlepas dari hukum Belanda yang sudah lama diterapkan di Indonesia.
Pasal kolonial itu terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Meski deliknya berupa aduan, namun dapat mengancam kebebasan demokrasi.
“Sekarang misalnya, aparat sudah bereaksi ketika ada misalnya penghinaan kepada presiden, ada fans, ada banyak follower, kemudian karena merasa terhina, dia bergerak,” ujar Isnur, Selasa (6/12).
Penghinaan terhadap presiden termuat dalam Pasal 218. Pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara, apabila menyerang kehormatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, menista atau memfitnah kepala negara.
Ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sementara itu, Pasal 218 Ayat (2) memberi pengecualian. Perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak termasuk kategori penyerangan kehormatan atau harkat martabat.
Selain penghinaan terhadap kepala negara, pasal yang dapat mengancam kebebasan demokrasi yakni terkait makar, yang diatur dalam Pasal 192.
“Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun,” tulis Pasal 192.
Halaman : 1 2 Selanjutnya