Ketiga, penentuaan nama cawapres tentu juga berhubungan dengan basis wilayah. Dari nama-nama yang muncul sebagai cawapres seperti Ridwan Kamil, Aher, Khofifah Indaparwansa, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, dan AHY berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga ini menyulitkan capres mencari figur cawapres yang tepat.
Arifki menilai Koalisi Perubahan ini lebih sibuk ke dalam menemukan titik temu diantara ketiga partai, terutama antara Demokrat dan PKS. Jika pontensi PKS dan Demokrat pindah ke partai lain tentu ini langkah yang sulit.
“Ini tidak hanya menjauhkan pemilihnya dari harapan terhadap figur yang diusung, hal lainnya juga berdampak pada lemah daya tawar PKS dan Demokrat di partai lain karena datangnya belakangan,” beber dia.
Kendati demikian, dia menilai Koalisi Perubahan ini sulit untuk retak, dilihat dari sisi kenyamanan PKS dan Demokrat tidak punya pilihan lain kecuali mendukung Anies sebagai capres.
Arifki menyebut, di balik dari berbagai kepentingan kedua partai ini untuk mendapatkan efek ekor jas Pemilu 2024, kedua partai itu tentu mempertimbangkan capres yang diusung partainya.
Arifki menegaskan, dampak elektoral dan keinginan untuk memenangkan Pilpres 2024 tentu lebih besar dari berbagai tawaran lain yang cendrung berpotensi merusak koalisi.
“Demokrat dan PKS ini udah puasa kekuasan di dua pemerintahan Jokowi. Tidak mungkin, dalam situasi politik yang masih zuhur. PKS dan Demokrat sudah tergoda untuk membatalkan rencana besarnya di tahun 2024. Jika bergabung dengan koalisi lainnya, PKS dan Demokrat hanya jadi makmum masbuk dalam koalisi politik, meskipun belum punya capres dan cawapres, koalisi lain sudah membangun hubungan emosional sejak lama,” kata Arifki.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya