Imamat dan Garam
Saya merenungkan bahwa imamat itu memiliki karakter yang mirip dengan garam. Kehadiran imam dengan jumlah yang sedikit (yang terus-menerus dikeluhkan karena jumlahnya selalu dirasa kurang) ternyata sudah mampu membuat kehidupan umat menjadi nikmat. Selain itu, seperti garam yang kehadirannya bisa mengawetkan makanan, demikian pula kehadiran imam bisa membantu mengawetkan ajaran iman yang diterima dan diteruskan selama berabad-abad.
Meskipun demikian, takaran garam yang keliru atau penggunaan garam yang tidak tepat ternyata bisa menimbulkan masalah. Demikian pula yang terjadi dengan imamat yang dijalankan tanpa batas yang jelas atau dijalankan untuk sasaran yang tidak tepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada suatu pertanyaan tentang garam yang menjadi tawar. Adakah garam yang menjadi tawar? Bukankah garam itu identik dengan rasa asin? Apa itu garam yang tawar? Saya rasa garam yang tawar adalah garam palsu. Garam yang menjadi tawar alias garam palsu tak akan bisa diasinkan tanpa melibatkan garam asli.
Demikian pula yang terjadi di dalam dakwah para mantan pastor gadungan. Dakwah mereka tak akan bisa mengasinkan imamat yang mereka bawa karena mereka hanya menyandang imamat palsu tanpa melibatkan imamat asli. Meskipun demikian, garam yang asli pun bisa kehilangan rasa asin jika ia “tenggelam dan terlebur dalam sesuatu yang berlebihan.”
Karena itu, baiklah para imam juga menyadari bahwa mereka pun bisa mengalami situasi yang sama sambil tetap merenungkan judul tulisan ini. Sebagai sarana pembantu, baiklah direnungkan kata-kata Sang Imam Agung, “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apa ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang!”
Bisa jadi, Sang Imam Agung pun berkata kepada para imam, “Jika Imamat itu menjadi tawar (karena kepalsuan) atau terasa tawar (karena terlanjur “tenggelam dan terlebur dalam sesuatu yang berlebihan”), dengan apak ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang.
(Maronggela, sore menjelang ulang tahun imamat saya yang keempat, dengan rasa syukur atas kebaikan Tuhan yang Mahahebat)
Catatan redaksi:
Pater Albertus Indra, merupakan imam dari Ordo Karmel Tak Berkasut (Ordo Carmelitarum Discalceatorum atau O.C.D.). Saat ini dia berkarya di Riung Barat, Kabupaten Bajawa, NTT.
Halaman : 1 2