Seperti biasa, sampai saat ini, menjelang ulang tahun tahbisan imamat, saya membagikan suatu permenungan khusus tentang imamat. Untuk tahun ini, pengalaman yang saya bagikan adalah tentang kehidupan imamat di hadapan beberapa fenomena yang mewarnai kehidupan selama setahun ini. Dua fenomena yang saya ambil adalah:
Dakwah Para Mantan Pastor Gadungan
Pada bulan-bulan awal tahun ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan tersebarnya beberapa dakwah yang disajikan oleh beberapa tokoh yang mengaku sebagai mantan pastor, misalnya Steven Indra Wibowo dan Bangun Samudra. Di sana mereka memperkenalkan diri sebagai mantan pastor; dan dalam pemahaman umum, pastor adalah imam Katolik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Steven Indra Wibowo mengatakan bahwa dia dahulu adalah misdinar (“putera altar,” anak-anak yang bertugas untuk membantu pelayanan perayaan liturgi Gereja Katolik) yang kemudian “naik pangkat” menjadi diakon (pelayan resmi Gereja Katolik yang ditahbiskan untuk mewartakan sabda dan melayani altar serta memimpin perayaan baptisan dan peneguhan perkawinan), kemudian prodiakon (pelayan awam yang dilantik untuk membantu beberapa pelayanan khusus) dan akhirnya memutuskan untuk mengambil sakramen imamat (yang seharusnya “diterima” bukan diambil).
Ia juga memaparkan usia, tahun tahbisan, lembaga tempat dirinya berkarya dan tugas-tugasnya. Bagi orang-orang yang paham tentang kehidupan Gereja Katolik, pernyataan Steven Indra Wibowo dengan mudah disimpulkan sebagai penipuan, terlebih jika keterangannya dicocokkan dengan arsip yang ada.
Bangun Samudra menyatakan bahwa dirinya adalah seorang yang sangat cerdas, yang mengalami suatu akselerasi dalam menjalankan proses pembinaan untuk menjadi seorang pastor. Ia juga menyatakan bahwa dirinya adalah seorang doktor lulusan Universitas Vatikan. Padahal, dia hanya drop out di tahap awal proses pembinaan untuk menjadi seorang pastor.
Selain itu, ada banyak istilah yang dipakai secara rancu di dalam dakwahnya dan gelar akademiknya tidak bisa dicocokkan karena lembaga pendidikan yang disebut olehnya tidak pernah ada. Akhirnya, banyak pernyataannya yang adalah penipuan.
Dalam diri kedua tokoh ini, saya melihat bahwa titel “mantan pastor” seolah-olah mereka anggap membantu dakwah mereka. Padahal, titel itu tidak selalu bernilai positif. Tampaknya, dengan membawa titel “mantan pastor,” mereka seolah-olah ingin “mengasinkan kembali” imamat yang telah menjadi tawar. Di sini bergema judul tulisan ini.
Pandemi Covid-19
Pada tahun ini dunia dilanda wabah global Covid-19. Di dalam Gereja Katolik, wabah ini membawa beberapa perubahan besar. Ada masa saat wabah ini tidak memungkinkan umat mengikuti ibadat publik yang dirayakan bersama. Akibatnya, muncul suatu cara peribadatan baru melalui live streaming yang melaluinya beberapa imam tampil ibarat selebritis, seperti seorang aktor (semoga mereka yang menjadi “aktor” melalui ibadat live streaming tidak memainkan drama atau sandiwara yang penuh rekayasa).
Yang jelas, sebagai salah satu sisi positif, pandemi ini membuat orang kreatif memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mempermudah pelayanan imamat. Sayangnya, perjumpaan langsung yang menjembatani imam dan umat menjadi terhalang. Jika hal ini dibiarkan terus menerus dan tidak dioleh secara baik, bisa jadi ada suatu jembatan yang rusak dan memutus hubungan antara umat dengan imam, bahkan antara umat dengan Tuhan.
Ada seorang sastrawan besar Indonesia yang secara terbuka meninggalkan iman Katolik dan memeluk suatu kepercayaan lain. Secara kelihatan, orang-orang bisa melihat bahwa ia berpindah kepercayaan agar bisa menjalankan poligami (yang memang tidak bisa difasilitasi oleh Gereja Katolik).
Meskipun demikian, ia sendiri mengakui bahwa ia berpindah kepercayaan karena menurut perasaannya, Gereja tak lagi menghubungkan manusia dengan Tuhan. Mungkin saja hal ini terjadi karena sikap para imam yang membuat imamat terasa tawar. Di sini bergema kembali judul tulisan ini.
Halaman : 1 2 Selanjutnya