Berpengaruh yang dimaksudkan disini adalah mengenai derajat sosial perempuan Manggarai. Putri Nggerang seoarang gadis yang cantik, yaitu; memiliki keindahan tubuh yang sangat proporsional, memiliki harkat dan martabat yang tangguh, dan memiliki kepribadian yang baik sehingga membuatnya tidak gampang dipengaruhi oleh siapapun memenuhi keinginan Sultan Bima untuk menerima lamaranya sebagai calon istrinya.
Dalam konteks politik sebagaimana diungkapkan oleh “Hoogerwerf”, bahwa berbicara bargaining position (posisi tawar) itu sama halnya berbicara tentang pengaruh. Mendasarkan otoritas yang potensial dan kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku pihak lain dalam kaitannnya dengan tujuan dari seseorang.
Teori ini berimplikasi pada keputusan putri Nggerang, dimana putri Nggerang memiliki otoritas atau pengaruh tradisioanl sehingga ia menolak segala bentuk tawaran Sultan Bima untuk melamar putri Nggerang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konteks ini cerita tentang putri Nggerang sebenarnya itu tidak terlepas dari isu tentang gender. Berbasis persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam berbagai sektor baik dalam kepemimpinan politik maupun dalam sektor publik lainnya.
Sudah saatnya tidak boleh terbelenggu dengan cerita tentang Nggerang yang hidup penuh dengan kekerasan hingga pada akhirnya meninggal dunia dengan cara yang tragis sebagai akibat perilaku kekejaman fisik sang penguasa sultan Bima pada masa itu.
Waktu boleh silih berganti tetapi yang paling penting adalah bagaimana Masyarakat Manggarai agar bisa keluar dari stigma tentang kekerasan yang dirasakan seorang putri Nggerang sehingga ke depan tidak muncul lagi putri Nggerang yang lain.
Perlunya Peningkatan Partisipasi Kaum Perempuan Manggarai
Salah satu solusi menghilangkan stigma itu perlu adanya peningkatan partisipasi perempuan Manggarai dalam berbagai bidang sosial misalnya menjadi pengurus partai politik, organisasi kemasyarakatan, LSM, instansi pemerintah, sebagai anggota parlemen, maupun dalam bidang lainya.
Dalam kaitan tersebut sebagaimana diungkapkan Rober Michels dalam buku berjudul; Partai politik Kecenderungan oligarkis dalam Birokrasi.
Bahwasannya semua orang berhak menjadi warga negara dan semua warga negara berhak dipilih oleh siapapun. Artinya siapa pun yang ingin menjadi pemimpin formal di setiap level politik memiliki hak politik yang sama untuk mendapatkannya termasuk dari agama mana pun serta dari kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Teori tersebut sudah membuktikan bahwa di era pilkada langsung banyak bermunculan kepemimpinan politik dari kalangan perempuan di daerah.
Tahun 1955 perempuan Indonesia mulai muncul memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki melalui hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang terjadi pada pemilu pertama di Indonesia.
Pengalaman perubahan kecenderungan untuk mengakomodasi pemenuhan hak politik perempuan di seluruh dunia berbeda-beda misalnya Amerika baru membolehkan perempuan untuk memilih pada tahun 1920, 144 tahun setelah merdeka.
Kemudian Perancis juga baru mengakomodasi hak politik perempuan pada tahun 1944 melalui konstitusinya.
Amerika dan perancis adalah negara yang sangat konsent terhadap persoalan isu Gender. Tujuannya adalah agar perempuan diakui sebagai subjek hukum yang punya hak politik seperti halnya laki-laki. Gerakan ini meluas di negara-negara Barat.
Pada pemilu pertama tahun 1955 ada perempuan yang mendapatkan suara cukup untuk menduduki kursi di parlemen bernama Salawati Daud.
Dia merupakan pejuang dalam perang kemerdekaan asal Makasar terpilih sebagai anggota Dewan konstituante dari Partai komunis Indonesia (PKI).
Salawati sebelumnya adalah menjadi walikota Makasar yang dipilih pada tahun 1949, setelah kota ini merdeka secara de facto dari Belanda. Tapi, bagaimana dengan posisi perempuan Manggarai dalam konteks kekinian, terutama Rueng dalam perspekttif kepemimpinan politik Manggarai?
Perbandingan perubahan antara era Rueng dalam legenda Manggarai dengan era demokrasi langsung dan era kapitalisme, Manggarai sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Kecenderungan pemenuhan hak politik perempuan di Manggarai tak bisa dibilang payah. Hal ini terbukti banyak kaum perempuan di Manggarai sekarang menjadi pejabat publik.
Misalnya Maria Geong wakil Bupati Manggarai Barat, Osi Gandut anggota DPRD Manggarai selama dua periode dan merangkap sebagai ketua fraksi Golkar.
Leni Paga menjadi kepala bandar udara, Ney Asmon yang menjabat sebagai kepala dinas Peternakan kabupaten Manggarai Barat, Sisi Nanga mantan anggota DPRD Manggarai dari fraksi Golkar, kemudian Lila Jehaun mantan anggota KPUD Manggarai.
Oleh Alvitus Minggu
Penulis merupakan dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Keristen Indonesia UKI Jakarta
Halaman : 1 2