Sejarah
Keterlibatan anak-anak dalam perpolitikan Indonesia sebenarnya tercatat dengan tinta historis. Situasi di sekian banyak daerah di Tanah Air saat Indonesia merdeka baru berumur dua hari, adalah gambaran nyata tentang itu.
Sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap para elit yang dinilai terlalu lambat, para pemuda memilih menggunakan manuver garis keras dengan menduduki stasiun radio dan kantor polisi. Para pemuda itu berhimpun dalam unit bernama Bo-ei Teisintai. Barisan berani mati yang terinspirasi oleh Jibakutai itu utamanya terdiri dari keigun heiho dan para pelajar SMP. Catatan lain memuat rincian daftar personel Bo-ei Teisintai. Barisan berani mati itu beranggotakan keigun heiho dan pelajar SMP, fujinkai dan pelajar, keibodan dan seinendan, keigun dan SDI, serta kempeitai dan pelajar SMP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Asmadi dalam Pelajar Pejuang (terbitan Sinar Harapan, 1985) juga menyajikan kisah kepahlawanan nan dramatis anak-anak pribumi dalam perang melawan Sekutu di Surabaya. Sekian banyak pelajar, bersama berbagai lapisan rakyat lainnya, terjun ke medan laga sambil menenteng bahan peledak. Dengan menjadi bom hidup, para pelajar yang berusia masih sangat belia itu lantas menabrakkan diri mereka ke kendaraan-kendaraan pasukan Sekutu hingga rusak tak bisa difungsikan lagi.
Menarik jika kejadian-kejadian tersebut diteropong dengan UU Perlindungan Anak. Silakan jawab, kalau punya nyali: apakah Indonesia merdeka telah bersikap masa bodoh terhadap perlindungan anak, yakni dengan melakukan pelanggaran terhadap hampir seluruh isi pasal 15 UU 35/2014? Toh, peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan ke level paling ekstrim tentang “penyalahgunaan dalam kegiatan politik”, “pelibatan dalam sengketa bersenjata, “pelibatan dalam kerusuhan sosial, “pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan”, dan “pelibatan dalam peperangan.”
Mundur tiga dasawarsa. Pada Kongres Pertama Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto berpidato di alun-alun kota Bandung. Berikut ini kutipannya sebagaimana diterjemahkan Mohammad Roem, “Lebih lama lebih dirasakan bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Netherland, seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya. Tidak patut lagi untuk memandang Hindia sebagai sapi perasan, yang hanya mendapat makan karena susunya. Tidak pantas lagi untuk memandang negeri ini sebagai tempat untuk didatangi dengan maksud mencari untung, dan sekarang juga sudah tidak patut lagi, bahwa penduduknya, terutama putera-buminya, tidak punya hak untuk ikut bicara dalam urusan pemerintahan yang mengatur nasibnya.”
Dalam bahasa hari ini, barangkali pidato Tjokroaminoto itu bisa dikategori sebagai hasutan atau bahkan ujaran makar. Tapi bisa dipastikan, pidato-pidato semacam itulah yang kemudian rutin dikunyah, dicerna, dan diproduksi lebih buas lagi oleh anak didik Tjokroaminto bernama Soekarno. Soekarno kala itu belum disapang “Bung” karena masih berumur kanak-kanak (mengacu batasan usia dalam UU Perlindungan Anak).
Apakah Tjokroaminoto telah menyalahgunakan Soekarno (anak!) dalam rangkaian kegiatan politiknya? Siapa berani menyimpulkan demikian?
Tidak bisa dielakkan, lini masa Republik Indonesia menyajikan banyak kaca benggala tentang bagaimana anak-anak ibu pertiwi dan putra-putri bapak angkasa punya jejak nyata dalam politik. Mereka bahkan sudah ikut serta dan diikutsertakan, bukan disalahgunakan, sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda.
Mari hari ini, dengan seseksama dan sebijak mungkin, kita baca ulang konstitusi dan sejarah tentang itu, agar anak-anak berkesempatan mewarnai jagat perpolitikan secara konstruktif.
*Reza Indragiri Amriel, mantan Ketua Delegasi Indonesia, Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia
Halaman : 1 2