Tasikmalaya – Isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang terungkap dalam “Buku Hitam Prabowo” tidak boleh dianggap sepele. Kasus penculikan aktivis mahasiswa, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi berdarah lainnya dipandang sebagai isu fundamental yang belum tuntas di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal tersebut mengemuka dalam bedah buku “Buku Hitam Prabowo: Sejarah Kelam Reformasi 1998” di Warung Bale, kompleks kampus Universitas Siliwangi (Unsil), Kota Tasikmalaya, Jawa Barat pada Minggu, 14 Januari 2024 sore.
Bedah buku diadakan oleh sejumlah elemen aktivis mahasiswa, akademisi, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus di Kota Tasikmalaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Hasan Asy’ari (pengamat politik), Haris Aufa (pegiat HAM), Epul Kusnaedi (aktivis milenial dan tokoh pemuda), dan Sadid Farhan (mantan Presiden Mahasiswa Unsil).
Dalam paparannya, Hasan Asy’ari mengatakan, ada dua pendekatan dalam melihat negara dalam perspektif politik, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural.
Pendekatan struktural melihat bagaimana kelembagaan negara bekerja, seperti pemerintahan, penyelenggara pemilu, TNI, dan Polri.
Hasan Asy’ari berpendapat, jika kelembagaan negara profesional dan netral, maka demokrasi bisa diselamatkan pada Pemilu 2024. Namun, sejauh ini, kelembagaan negara seolah-olah bekerja untuk calon presiden dan wakil presiden tertentu.
Sementara itu, pendekatan kultural melihat latar belakang dan kepribadian pemimpin negara. Prabowo Subianto, menurut Hasan Asy’ari, lahir dari lingkungan militer dan feodalistik. Artinya, Prabowo memiliki kepribadian tegas, keras, dan menakutkan.
“Memahami kompleksitas masalah di republik ini, saya berpendapat Prabowo tidak tepat untuk menjadi Presiden Indonesia karena Prabowo dididik untuk berperang mempertahankan negara,” kata Hasan Asy’ari.
Penulis : Robintinus Gun
Editor : Alex K
Halaman : 1 2 Selanjutnya