Saya sudah pernah menulis tentang Bangun Samudra, Yahya Wahloni dan para mualaf lainnya yang dengan leluasa menjual kebohongan mereka sebagai mantan pastor (imam Katolik), suster, mantan pendeta, anak kardinal hanya demi diterima dan diakui sebagai ustadz.
Dan pada hari ini ketika sedang asyik membuka Youtube untuk mendengar berita-berita di Indonesia, saya menemukan beberapa chanel yang menampilkan ceramah seseorang yang katanya “ustadz” dari Nusa Tenggara Timur (NTT), saudara Martin Geban yang disapa Ustadz Ali Mustafa.
Saya kembali menuliskan kebohongan berkedok ustadz agar para saudara-saudari umat Muslim lebih selektif dalam mendengarkan ceramah seorang mualaf. Agar nilai-nilai keIslaman yang rahmatan lil’alamin tidak dinodai dan dinista oleh mereka yang mualaf hanya untuk sebuah pengakuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Demikian juga dengan kembali menuliskan seperti ini, saya mengajak teman-teman yang beragama Islam agar ketika mendengarkan ceramah seorang mualaf yang kemudian diakui sebagai “ustadz” selalu menjelekan agama lain: Katolik maupun Protestan tidak serta merta menerimanya begitu saja melainkan mencari kebenaran pada umat ataupun pihak berkompeten pada agama yang dijelekan dan difitnah.
Si Martin Geban hampir sama dengan Bangun Samudra. Mereka berdua ibarat seperguruan beda jurusan dalam kebohongan.
Ketika Bangun Samudra mengatakan lulusan S3 Kitab Suci Vatikan, demikian dengan Martin Geban yang mengatakan sebagai calon S3 Islamologi di Vatikan yang dipromosikan oleh para pastor untuk merusak Islam (channel Youtube Ajo Khadafi; Ceramah Ustadz Ali Mustafa/Martinus Geban; Peringatan peristiwa Maulid Nabi Muhammad SAW, di Masjid Taqwa (Surau Dagang) Sungai Geringging, 15 Nov 2020).
Dalam Youtube yang mempertontonkan kebohongan Martinus Geban berkedok ceramah, Martinus Geban mengaku bahwa ia mengenyam pendidikan seminari sejak SD-SMA.
Kebohongan Martinus Geban mulai nampak ketika ia menyamakan seminari sebagai madrasah. Bahkan mengatakan seminari sebagai sekolah aktivis gereja. Dari segi kurikulum pendidikan dan tujuan dari pendidikan saja sudah berbeda. Seminari adalah pendidikan yang mempersiapkan calon imam dan bukan aktivis gereja.
Bahkan dengan gamblang Martin Geban mendramakan kebohongannya dihadapan para pendengarnya dengan mengatakan bahwa peraturan di seminari sangat ketat. Jika terlambat harus membayar denda Rp100.000 per hari. Seminari menerapkan kedisiplinan ya, tapi tidak ada denda demikian. Memangnya seminari ini kantor pajak.
Yang lebih parah lagi ketika Martin Geban mengatakan bahwa yang menjadi ketua magister teologi setelah menjalani pendidikan S-1 sebagai frater adalah ayahnya sendiri.
Martin Geban kembali secara terbuka mempertontonkan kebohongannya karena fakultas teologi termasuk sekolah tinggi filsafat dan teologi yang mendidik para calon imam ketua maupun rektornya tidak pernah seorang awam melainkan seorang imam (pater/pastor). Bahkan dalam Gereja Katolik tidak pernah ada yang namanya divisi misionaris seperti pengakuan bohong seorang Martin Geban.
Ia mengatakan bahwa setelah menyelesaikan magister teologi, ia dikirim ke Jakarta untuk menduduki jabatan sebagai kepala divisi misionaris di Katedral Jakarta pada tanggal 11 Juni 2007 selama tiga tahun.
Kemudian dipromosikan untuk mewakili Indonesia melanjutkan pendidikan S-3 Islamologi di Vatikan sehingga dengan memahami Islamologi, ia bisa menjadi penyusup dan dapat menggeser (merusak) aqidah Islam.
Pengakuan ini adalah sebuah kebohongan dan provokasi yang sedang dipertunjukan oleh Martin Geban.
Sebagai seorang imam asli Katolik, saya mau menjelaskan kembali hal-hal penting agar teman-teman Muslim sadar bahwa yang dikatakan oleh Martin Geban dalam ceramahnya terkait hal ini adalah sebuah kebohongan dan fitnah:
Pertama, perlu diketahui bahwa dalam Gereja Katolik tidak ada divisi misionaris. Perutusan sebagai misionaris pada para imam adalah wewenang keuskupan masing-masing bagi imam keuskupan (diosesan) dan wewenang propinsial masing-masing bagi imam tarekat (religius). Dan juga tergantung pada permintaan bapak Uskup selaku pempimpin gereja lokal (keuskupan) dan kontrak dengan keuskupan lain atau tarekat tertentu.
Kedua, dalam Gereja Katolik, tidak ada istilah promosi studi lanjut. Para imam yang diutus oleh keuskupannya atau tarekatnya adalah sesuai kebutuhan keuskupan dan tarekat. Jika dikirim dari fakultas teologi juga berdasarkan kebutuhan lembaga pendidikan, dengan persetujuan lembaga pendidikan dengan keuskupan (imam diosesan) maupun tarekat (imam religius).
Halaman : 1 2 Selanjutnya