Karena itu, lanjut Petrus, orang yang patut dimintai pertanggungjawabab secara moral, sosial dan hukum adalah Kapolda Eko Indra Heri atas ketidakbenaran sumbangan keluarga Akidi Tio tersebut. Sebab deklarasi sumbangan sesuatu yang belum pasti, di luar wewenangnya dan dilakukan di hadapan pers, Gubernur Sumsel, Danrem dan lain-lain pada tanggal 26 Juli 2021.
Di sisi lain, lanjut Petrus, Irjen Eko telah membentukan dua tim, yaitu tim penyelidik untuk menyelidiki kebenaran asal-usul komitmen sumbangan masyarakat dan tim pengelola dana Rp2 triliun, seperti diumumkan pada tanggal 26 Juli 2021. Namun pembentukan dua tim oleh Kapolda ini telah mengungkap fakta-fakta penyimpangan.
Fakta-fakta penyimpangan menurut Petrus ialah, pertama, pada deklarasi tanggal 26 Juli 2021, belum dilakukan investigasi sehingga belum ada kepastian pemilikan dana Rp2 trilun atas nama Akidi Tio. Kedua, belum ada klarifikasi apakah Heryanti merupakan wakil resmi dari seluruh ahliwaris Akidi Tio. Fakta lainnya adalah telah dibentuk tim untuk “menampung dan mengelola” sumbangan masyarakat. Padahal menurut UU Nomor 11 Tahun 2009, wewenang itu berada di tangan Pemda yaitu Gubernur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini jelas tindakan ceroboh dari Irjen Eko Indri Heri karena tim investigasi yang dibentuk belum bekerja, belum ada bukti yang memastikan apakah benar keluarga Akidi Tio memiliki dana sebesar Rp2 triliun, bermasalah atau tidak, namun deklarasi dipaksakan pada tanggal 26 Juli 2021, seakan-akan sumbangan itu sudah clean and clear,” ungkapnya.
Melihat fakta tersebut, Petrus mengatakan Heryanti tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sebab Heryanti baru menyatakan kehendak untuk menyumbang kepada Irjen Eko sebagai pribadi, namun kehendak itu tidak terlaksana karena dananya tidak cukup.
Dengan demikian, lanjut Petrus, masalahnya cukup menjadi persoalan pribadi antara Heryanti dan Irjen Eko untuk saling memaafkan.
Halaman : 1 2