Sebenarnya saya enggan untuk nimbrung karena khawatir polemik berkepanjangan dan hanya akan memalingkan perhatian umat Islam dari agenda mendesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan.
Semula saya berharap segenap elemen umat agar menghindarkan diri dari mengangkat isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yang sensitif sekarang ini. Pada hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa ditunda dulu.
Tapi karena sudah terlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yang faqir ini menyampaikan pandangan. Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Polemik berkembang rancu, baik karena penjelasan awal ke publik dari Munas Ulama NU mengaitkan keduanya, karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada istilah kafir tapi muwathin.
Polemik kemudian berkembang pada konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan asumsi bahwa Munas menafikan atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut).
Istilah kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang disebut 525 kali dalam Al-Qur`an adalah dalalah Ilahiyah (penunjukan Ilahi) terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu.