Bebas berkehendak bisa punya makna, bebas yang datang dari dalam diri, artinya secara sadar seseorang punya kehendak atas sesuatu yang didasari keinginan dan akal sebagai pertimbangan. Manusia tidak bisa dikatakan memiliki kehendak bebas (merdeka) tanpa melalui proses pertimbangan.
Contohnya media sosial yang belakangan menjadi candu di tengah masyarakat, menciptakan kebebasan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berkomentar. Entah komentar itu logis (baik praktis atau konsep) atau tidak logis, yang terpenting komentar tersebut sensasional. Alhasil, yang paling sensasional dia akan diikuti.
Implikasinya, kepakaran seseorang tentang sesuatu hal menjadi nirguna hanya karena kurang sensasi, tidak retoris, terlalu bertele-tele dan membosankan. Karena memang umumnya berpikir merupakan pekerjaan membosankan. Mengolah nalar agar teratur membutuhkan waktu ketimbang mempraktikan sesuatu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baru-baru ini misalnya, ceramah Ustaz Abdul Somad menggegerkan jagat media sosial. Terlepas dari konten ceramah yang dibawakannya, sebagian publik terbius pernyataan Ustaz Somad. Sehingga pembelaan terhadap Ustaz Somad gencar di media sosial. Sebagain publik lupa bahwa mereka memiliki alat untuk mempertimbangkan sesuatu yang bisa memutus bahwa apa yang disampaikan Ustaz Somad atau sosok lainnya yang sedang trending benar atau salah.
Berdasar kebebasan berpendapat, media sosial saat ini justru perlahan mengurung manusia yang seharusnya bisa berkehendak bebas menjadi sempit. Tingginya follower seorang tokoh di media sosial sebenarnya berpotensi menjajah diri seseorang dengan emosi dan menggeser nalar. Emosi bisa berupa kelucuan, kebencian, kesedihan, dan lainnya yang mampu menggeser posisi nalar.
Oleh Achmad Sakirin, Mahasiswa pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, Jakarta
Halaman : 1 2