Gerardus Gili, ayah kandung Yohanes San Salvador Lado Gili atau San (19), mahasiswa IKIP Muhamadyah, Maumere telah mengirim surat laporan yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Idham Aziz, Gubernur NTT Viktor Laiskodat, Kapolda NTT Irjen Pol Hamidin AKBP Sajimin, Kapolres Sikka dan sebagainya.
Dalam suratnya, Gerardus mengungkap dugaan pengajaran aliran radikalisme dan intoleransi dari ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang anti Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI di Sikka.
Dalam laporan Gerardus Gili, disebutkan bahwa ajaran sesat yang diberikan kepada anaknya itu sudah mengarah kepada perilaku radikalisme dan intoleransi yang dilakukan oleh sejumlah oknum dengan berlindung di balik aktivitas keagamaan di Kampus IKIP Muahamadyah dan Masjid Darussalam di Waioti, Maumere.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gerardus Gili menguraikan bahwa perilaku anaknya sebagai Mahasiswa IKIP Muhamadyah telah berubah drastis, menunjukan sikap ketidaksukaan terhadap orang tua serta seluruh keluarga besarnya. Gerardus menyebut, sikap itu berubah karena San telah berbeda keyakinan dengan orang tuanya (pindah agama) dan sudàh berganti nama. Kemudian, San membenci simbol-simbol dan iman Katolik yang dianut kedua orang tua dan keluarga besarnya.
Koordinator TPDI Petrus Selestinus mengatakan, peristiwa ini jelas melukai perasaan keluarga besar kerardus Gili. Alasannya, keluarga sudah merpercayakan San untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang baik di Kampus IKIP Muahamadyah.
Namun, yang didapat justru perubahan sikap yang melukai keluarga akibat ulah oknum-oknum tertentu di lingkungan Kampus IKIP Muhamadyah dan Masjid Darussalam sebagai institusi yang memiliki keluhuran yang harus dijaga dan dihormati oleh siapapun juga.
Karena itu, Petrus meminta Polda dan Kabinda NTT bekerjasama dengan pimpinan Kampus IKIP Muhamadyah, UNIPA dan Masjid Darussalam harus diselamatkan dari terpaparnya radikalisme, intoleransi dan HTI sebagai ormas terlarang.
“Terdapat dugaan kuat ada tangan oknum HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sedang membangun sel-sel radikalisme dan intoleransi, menggunakan kampus dan masjid sebagai media untuk melahirkan generasi terdidik yang radikal dan intoleran di Sikka,” kata Petrus di Jakarta, Minggu (12/7).
Kampus dan Masjid korban terpapar radikalisme
Petrus menjelaskan, sikap tidak lazim yang dipertontonkan oleh sekelompok orang dalam proses pindah agama dan ganti nama San, dilakukan secara sangat tertutup ketika San direkrut. Padahal, kata dia, umumnya seorang penganut Kristen atau agama lain yang ingin pindah keyakinan menjadi muslim senantiasa tetap menaruh hormat terhadap orang tua dan keyakinan agama orang tuanya, budaya masyarakat setempat, tetap toleran dan hidup berdampingan secara damai.
“Proses pindah agama hingga ganti nama San menjadi Muhammad Ihsan Hidayat, sikap hormat San pada orang tua tidak nampak. Malah yang muncul adalah sikap benci dan intoleran. Sehingga dikhawatirkan kampus IKIP Muhamadyah, Masjid Darussalam dan Kampus UNIPA di Sikka, telah menjadi korban terpapar radikalisme, melalui oknum mahasiswa antar kampus dalam jaringan HTI,” katanya.
Dia menjelaskan, situasi ini diperkuat melalui pesan Sam kepada orang tuanya agar informasi tentang keberadaan HTI di Waioti dirahasiakan atau tidak boleh diceritakan kepada siapapun. Adapun keberadaan HTI Waioti sempat diceritakan San kepada orang tuanya.
“Tujuannya tentu agar keberadaan HTI di Sikka tidak terbongkar. Dan pesan itu dipastikan bersumber dari beberapa aktor yang diduga sebagai jaringan HTI di Waioti yang berhasil merekrut San saat pidah agama dan ganti nama menjadi Mohammad Ihsan Hidayat,” kata advokat Peradi ini.
Halaman : 1 2 Selanjutnya