Pelanggaran berat
Direktur Eksekutif Lembaga Perkumpulan Pemilu (Perludem) Titi Anggraini mengatakan ASN yang terlibat komunikasi politik dengan partai politik merupakan bentuk berat terhadap prinsip netralitas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN.
Pernyataan Titi ini mengomentari fenomena ASN yang mencalonkan diri di Pilkada 2020, namun belum mengundurkan diri. Contohnya adalah Sekda Tangerang Selatan (Tangsel), Muhammad, yang juga diduga sudah melakukan komunikasi poltiik dengan partai pengusung ketika menjadi ASN aktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Seorang ASN yang masih aktif, apalagi menjabat posisi struktural penting namun sudah melakukan komunikasi politik dengan partai-partai untuk kepentingan pencalonannya di pilkada, jelas merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip netralitas berdasar UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN,” kata Titi seperti dilansir dari Tirto, Rabu (5/08).
Karena itu, pihaknya mendorong agar para calon kepada daerah maupun calon legislatif harus sudah bergabung dan menjadi kader partai politik selama minimal tiga tahun sebelum pencalonan.
Selain itu, aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri yang ingin maju dalam kancah perpolitikan wajib mundur minimal tiga tahun sebelum pencalonan pada Pilkada serentak.
“Jangan kayak sekarang yang masih menjabat Sekda sudah salam-salaman dengan partai politik di mana-mana padahal sebagai ASN harsus netral tetapi menjabat sebagai Sekda. Loh ini apa. UU ASN yang bilang harus netral itu apa maknanya,” katanya saat diskusi virtual Perludem, Selasa (4/8) lalu.
Selain itu, Perludem juga mengusulkan agar jalur perseorangan murni hanya ditujukan bagi calon nonpartai. Jalur ini kata dia semestinya tidak bileh digunakan oleh kader partai politik untuk maju sebagai calon kepala daerah.
“Kita tegas-tegas saja ya, jadi bagi dia yang di partai minimal sudah 3 tahun menjadi kader bukan baru bikin kartu anggota tiba-tiba langsung menjadi calon,” terangnya.
Sementara itu, Perludem mencatat setidaknya 31 daerah berpotensi memunculkan calon tunggal pada Pilkada serentak 2020. Dari jumlah tersebut, 20 daerah di antaranya memiliki kecenderungan cukup kuat mengusulkan calon tunggal.
Titi menilai kemunculan calon tunggal ini harus ditanggapi penyelenggara dengan responsif. Penyelengara dinilai perlu mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa calon tunggal bukan satu-satunya pilihan dan bukan berarti wajib dipilih.
Penyelenggara perlu membuka akses informasi terkait skema kolom kosong. Salah satu bentuknya adalah menyediakan alat peraga kampanye untuk kolom kosong. Pasalnya dalam kertas suara, calon tunggal akan berhadapan dengan kolom kosong.
Dia mengusulkan agar slot kampanye di media yang diberikan setara. Adapun materi tersebut dapat disiapkan oleh panel ahli. Selain itu juga diperlukan legal standing pemantau terakreditasi untuk menjadi pihak terkait di Mahkamah Konstitusi.
Halaman : 1 2