Dibandingkan dengan pekerjaan yang dulu, Kapolresta Denpasar menyebut pendapatan pelaku jauh lebih kecil dari itu.
“Ya pasti bedalah, dia sembilan bulan menjalaninya pasti lebih banyak,” pungkasnya.
Peristiwa ini kemudian mendapat sorotan dari Sosiolog Universitas Udayana Bali, Wahyu Budi Nugroho yang menilai bahwa masyarakat dunia telah melalui tiga revolusi besar dalam sejarah, yaitu revolusi pertanian, revolusi industri, dan kini yang sedang terjadi: revolusi ekonomi-informasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Era ekonomi-informasi saat ini memang memberikan kemudahan dalam transaksi ekonomi. Hal inilah yang turut mendorong munculnya berbagai usaha ekonomi secara digital (e-commerce),” ujar Wahyu, Sabtu (18/9).
Namun demikian, lanjut Wahyu, era ekonomi-informasi ini juga menyimpan berbagai sisi negatif, salah satunya adalah kerentanan pihak-pihak yang memanfaatkan kemudahan transaksi untuk memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang menyalahi nilai, norma, dan budaya sosial, dengan kasus RR contohnya.
Dalam kajian sosiologis, dijelaskan Wahyu, kasus ini menunjukkan betapa teknologi kehilangan sentuhan kemanusiaan, sehingga justru berdampak pada degradasi atau menurunnya nilai-nilai kemanusiaan.
“Seperti penggunaan dunia maya untuk menyebarkan berikut mempertontonkan hal-hal berbau pornografi dan pornoaksi misalnya,” tuturnya.
Bagi masyarakat Barat, pekerjaan yang dilakoni RR mungkin tak dipersoalkan, karena memang masyarakat Barat bercorak liberal dan individualis.
“Artinya, selama pekerjaan individu itu tidak mengganggu dan merugikan pihak lain, maka itu tak jadi soal. Tetapi bagi masyarakat kita yang masih memegang teguh nilai, norma, dan budaya sosial, tentu ini menjadi persoalan,” kata dia.
Di sisi lain, penilaian moralitas kita seyogyanya tidak hanya tertuju pada RR, tetapi juga pada para laki-laki yang sengaja menggunakan dunia maya untuk hiburan semacam itu—berbau pornografi dan pornoaksi.
“Kasus RR ini kiranya menjadi cermin tantangan nilai, norma, dan budaya sosial yang tengah kita hadapi saat ini. Apabila dahulu sosialisasi atau pewarisan nilai, norma, dan budaya sosial cenderung bersifat liniear, dalam arti dari kakek-nenek, orangtua, lalu ke anak cenderung berada dalam lingkup keluarga,” ucap Wahyu.
Dosen Sosiologi itu menyambung, di era globalisasi, wujud sosialisasi cenderung “meloncat” di mana keluarga dan masyarakat tak lagi menjadi satu-satunya sumber sosialisasi nilai, norma, dan budaya sosial melainkan pula, dan terutama kini bahkan, media dari berbagai belahan dunia.
“Inilah yang seringkali menyebabkan keterbelahan identitas sosial, yang juga berpengaruh pada cara individu bersikap atau bertindak,” katanya.
Halaman : 1 2