Pembuktian tersebut, kata Petrus, ditempuh melalui mekanisme penyidikan Tindak Pidana Umum dan wewenang untuk itu berada pada Polri, cq. Polda NTT atau Bareskrim Polri.
Dijelaskan Petrus, tidak terdapat alasan hukum sedikit pun untuk mengkualifikasi peristiwa pemilikan lahan Toro Lema oleh pihak lain sebagai Tindak Pidana Korupsi dan mengklaim kerugian negara sebesar Rp3 triliun.
“Terlebih karena harga lahan 30 Ha di Toro Lema masih jauh dari nilai Rp3 triliun, juga karena lahan Toro Lema dimaksud belum jadi milik Pemda Mabar dan masih dalam status sengketa pemilikan,” paparnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Petrus justru melihat Kajati NTT terlalu memaksakan kehendak dengan memperbanyak jumlah saksi dan memeriksa saksi hingga ratusan orang secara berulang ulang-ulang.
“Konon ada saksi yang disuruh mengaku bersalah. Padahal penyidikan dengan pola memeras pengakuan bersalah dari saksi atau tersangka yang diperiksa, dilarang keras oleh KUHAP,” ucap Petrus.
Petrus menegaskan bahwa pada prinsipnya kasus lahan Toro Lema merupakan wewenang Polri, bukan Kejati NTT.
Namun yang terjadi, Kejati NTT menggunakan instrumen Tipikor untuk menjerat Pemda Mabar.
“Terdapat indikasi terjadi penyalahgunaan wewenang, di mana Yulianto dan tim penyidiknya sesungguhnya sedang menghambur-hamburkan uang negara sekedar ongkos pencitraan diri, dengan memperalat institusi Kejaksaan Tinggi NTT pada kasus Tindak Pidana Umum yang sepenuhnya merupakan wewenang Polri,” pungkas Petrus.
Petrus menduga, ada indikasi Kajati NTT Yulianto sedang memburu rente di atas lahan konflik Toro Lema untuk kepentingannya, tapi atas nama negara.
“Yang dikhawatirkan nantinya lahan Toro Lema bisa saja lepas dari mulut buaya tetapi akan masuk lagi ke mulut macan, karena salah memilih jalan,” ungkapnya.
Halaman : 1 2