Padahal, kata dia, Lebu Raya bisa dipidana jika memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 174 KUHAP juncto Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Begitu pula majelis hakim tidak pernah memberi peringatan kepada saksi Frans Lebu Raya untuk bersaksi jujur seraya memberitah bahwa ada ancaman pidana jika saksi memberikan keterangan palsu guna mendapatkan kebenaran materiil.
“Dengan demikian, maka kesimpulan majelis hakim bahwa Frans Lebu Raya menerima gratifikasi menjadi bukti “petunjuk”, merupakan kesimpulan yang kontradiktif, inkonsisten dan ambigu,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, Petrus meminta Kejaksaan Tinggi NTT tidak perlu merespons kesimpulan kontrapoduktif dan ambigu dari majelis hakim dan mengekspose ke publik seakan-akan petunjuk sumir itu menjadikan bukti untuk menjadikan Frans Lebu Raya sebagai tersangka.
Sebab, Pasal 5 dan pasal 7 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa penyelidik atau penyidik karena kewajibannya berwenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Artinya tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan, tindakan itu haus patut dan masuk akal atas pertimbangan yang layak dan menghormati hak asasi manusia.
“Ini adalah bagian dari teror melalui framing media bahwa Frans Lebu Raya akan dijadikan tersangka berdasarkan petunjuk dalam putusan hakim atas nama terdakwa Yulia Afra,” ungkapnya.
Halaman : 1 2