Sementara November 2019, PT AJS diperkirakan mengalami negatif equity sebesar Rp27,2 triliun. Kerugian itu, menurut Agung, terutama terjadi karena PT AJS menjual produk saving plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara massif sejak tahun 2015.
Celakanya menurut dia dana dari saving plan tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah sehingga mengakiabtkan tekanan likuditas pada PT AJS yang berujung pada gagal bayar.
Agung menjelaskan, produk saving plan ini merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di PT AJS sejak tahun 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Produk ini sebenarnya merupakan produk simpanan dengan jaminan return atau bunga yang sangat tinggi dengan tambahan manfaat asuransi.
Pada penjualan saving plan ini, BPK menemukan sejumlah penyimpangan antara lain penunjukan pejabat senior bancaasurance tidak sesuai dengan ketentuan; pengajuan cost of fund langsung pada direksi tanpa melibatkan divisi terkait dan tidak didasarkan pada dokumen perhitungan Cost of Fund (COF) dan review usulan COF.
Kemudian, penetapan COF saving plan tidak mempertimbangkan kemampuan investasi PT AJS untuk menghasilkan pendapatan yang diperlukan untuk menutup biaya atas produk asuransi yang dijual.
Selain itu, dalam pemasaran produk saving plan diduga terjadi konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait di PT AJS mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut.
Temuan lain dari audit investigatif ini adalah PT AJS melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah, yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan seperti analisis pembelian dan penjualan saham. Hal ini diduga dilakukan tidak didasarkan pada data yang valid dan objektif.
Lalu melakukan aktivitas jual beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized loss. Jual beli saham juga dilakukan dengan pihak-pihak tertentu secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan.
Tak hanya itu, kepemilikan atas saham tertentu juga melebihi batas maksimal yang ditentukan, yaitu di atas 2,5% dan investasi langsung pada saham-saham yang tidak likuid dengan yang tidak wajar. (Iconomics/Ryan P)
Halaman : 1 2