Riuh pemilihan umum serentak sudah rampung, walau sisa-sisa peluhnya masih butuh waktu hingga benar-benar kering. Sebelumnya, selama berbulan-bulan kepada masyarakat disodorkan berulang kali pernyataan agar tidak melibatkan anak dalam politik. Pernyataan itu bahkan juga dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara yang mengurusi masalah perlindungan anak.
Kendati terkesan bagus karena mengandung kepedulian pada anak, namun pernyataan untuk tidak melibatkan anak dalam politik sejatinya tidak tepat. Apa pasal?
Mengharamkan anak terlibat atau dilibatkan dalam politik, sadar maupun tidak, berangkat dari sikap alergi total terhadap politik. Politik diposisikan sebagai sesuatu yang buruk karena seolah tidak ada faedahnya bagi kehidupan bernegara. Politik juga dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya karena seakan menjadi tempat berkecamuknya segala bentuk tabiat yang tak pantas diteladani anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika politik disikapi sedemikian fatalistis, maka pertanyaan introspektif yang harus bisa dijawab adalah apa gerangan yang melatarbelakangi lahirnya Republik Indonesia?
Udara Indonesia yang diirup hingga hari ini, berikut segala bentuk pranata kehidupannya, adalah produk politik. Politik bukan segala-galanya. Tapi terlalu absurd jika dinyatakan bahwa anak-anak harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari segala hal yang berhubungan dengan politik.
Semua orang, tak terkecuali anak-anak, tidak bisa melepaskan diri dari politik. Kalau memang antipolitik adalah sikap yang harus dibangun, maka konsekuensinya adalah jangan hidup bernegara. Dan itu justru bukan pilihan hidup yang bijaksana dari warga negara.
Kalangan yang getol mengumandangkan pesan untuk tidak mengikutsertakan anak-anak dalam politik, perlu membaca undang-undang secara lebih seksama.
Rilis KPAI tanggal 11 April 2019, misalnya, memuat kekeliruan amat-sangat mendasar sekali tentang anak dan politik. Di rilis itu, KPAI mencuplik pasal 15a yakni, “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan politik.” Padahal, redaksional akurat pasal tersebut adalah “Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.”
Terhapusnya diksi “penyalahgunaan” pada kutipan KPAI adalah penihilan terhadap kearifan yang sesungguhnya telah mewarnai suasana batiniah para penyusun UU Perlindungan Anak. Bisa dibayangkan, semasa menyusun UU tersebut, legislatif memafhumi bahwa tidak semua hal dalam politik adalah buruk.
Legislatif memberikan ruang bagi siapa pun untuk menggunakan anak-anak Indonesia demi terbangunnya perpolitikan bernegara, termasuk politik praktis sekalipun, yang konstruktif. Sebaliknya, hanya mereka yang menggunakan anak-anak dengan cara yang salah dan tujuan yang salah, yang dilarang.
Sebagai ilustrasi adalah partai politik yang secara berkala menyelenggarakan–sebutlah–kongres bagi anak-anak untuk menyuarakan aspirasi mereka, kemudian mengemas aspirasi itu sebagai substansi program kerja partai.
Partai politik, oleh sebagian kalangan, kini dipandang sinis. Tapi ilustrasi di atas memperlihatkan bahwa politik praktis yang kerap dianggap memuakkan itu ternyata melakukan perlibatan anak-anak dalam politik dengan format yang baik dan untuk maksud yang baik pula. Itu adalah penggunaan, bukan penyalahgunaan, anak dalam politik yang justru patut diduplikasi oleh sebanyak-banyaknya partai politik.
Sebaliknya, andaikan partai politik maupun seluruh elemen negara menutup politik dari anak-anak, maka itu justru klaim perlindungan anak yang salah kaprah. Bagaimana mungkin negara bisa menghasilkan peraturan dan program kerja yang sungguh-sungguh ramah anak, ketika negara memilih menutup diri terhadap anak-anak? Bagaimana mungkin potensi anak sebagai subjek aktif pembangunan justru dipatahkan, ketika UU
Perlindungan Anak mengamanatkan para pemangku kepentingan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak agar dapat berpartisipasi, menyatakan pendapat, serta berserikat dan berkumpul?
Alhasil, jelas sudah; semua pihak, teristimewa lembaga-lembaga negara yang membidangi masalah perlindungan anak, harus punya bacaan dan tafsiran atas UU secara tepat. Keliru baca senyatanya malah mematikan potensi anak untuk eksis dan mengalami proses tumbuh kembang secara produktif. Garis bawah: Politik yang secara pukul rata menyumbat perlibatan atau keterlibatan anak dari politik adalah politik yang tidak ramah anak. Ini harus ditentang demi terealisasinya kepentingan terbaik anak.
Halaman : 1 2 Selanjutnya